Kata korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus (bahasa latin) yaitu keadaan yang adil, benar dan jujur menjadi sebaliknya. Kata corruptio memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi merupakan penyelewengan uang negara (perusahaan, dll.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Pengertian korupsi itu sendiri sangat banyak diutarakan para ahli sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dalam Black Law Dictionary dikatakan corruption, “is depraty, perversion, or taint, on impairment of integrity, virtue, or moral principle; esp, the impairment of a public official’s duties by bribery” (Bryan A. Garner, 1990: 348). Lebih lanjut dalam Oxford Unabridged Dictionary menyebutkan, korupsi merupakan penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa.
Pada tahun 2000 World Bank membuat defenisi korupsi: “is the abuse of public power for private gain”. Pengertian ini dengan jelas menyebutkan bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Defenisi yang hampir sama diutarakan Treisman (2000: 399-457), korupsi merupakan penyalahgunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi (misuse of public office for private gain). Defenisi yang dibuat World Bank tentang korupsi sering dijadikan sebagai acuan untuk mendefinisikan korupsi tersebut.
Pengertian korupsi sangatlah bervariasi. Banyaknya variasi ini diakibatkan sudut pandang para ahli yang berbeda. Selain sudut pandang yang berbeda, pengertian korupsi itu juga dipengaruhi kondisi politik suatu negara pada masa tertentu. Menurut Syauket (2021: 9), pengertian korupsi itu dipengaruhi waktu, tempat dan bangsa. Menurut UU No. 24 tahun 1960, pengertian korupsi adalah sebuah perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan secara eksplisit kejahatan yang dilakukan seseorang dalam hal materi. Korupsi itu merupakan kejahatan yang dilakukan karena jabatan atau kedudukan seseorang.
Perkembangan selanjutnya, setelah rezim orde baru tumbang dan diganti orde reformasi, korupsi menjadi kejahatan yang luar biasa. Negara Indonesia mengeluarkan aturan yang khusus mengatur korupsi yaitu UU No. 31 tahun 1999. Menurut undang-undang ini, bahwa korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perkembangan selanjutnya, peraturan ini disempurnakan lagi dengan mengeluarkan UU No. 20 tahun 2001. Pengertian Korupsi menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah bertindak melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara.
Dilihat dari pengertian korupsi, para ahli umumnya menyebutkan korupsi itu merugikan negara atau perekonomian negara. Padahal dalam prakteknya korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara tetapi lebih luas dari hal tersebut. Suap-menyuap merupakan contoh yang tidak merugikan keuangan negara, padahal tindakan ini hampir setiap saat terjadi. Demikian juga tindakan gratifikasi tidak merugikan keuangan negara secara langsung. Gratifikasi menurut UU Tipikor adalah pemberian dalam arti yang luas termasuk pemberian uang, barang, diskon, fasilitas perjalanan baik tiket, penginapan, dan lain-lain. Perbedaan gratifikasi dengan suap menyuap terletak dalam kesepakatan. Suap menyuap dilakukan berdasarkan kesepakatan, sedangkan gratifikasi terjadi bukan berdasarkan kesepakatan.
BENTUK KORUPSI
Praktik korupsi itu sangat luas cakupannya. Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara tetapi juga yang merugikan masyarakat lainnya.
- Melakukan perbuatan yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan negara.Dalam pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dinyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindakan korupsi menurut pasal ini dilakukan: setiap orang, melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
- Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan: memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Tindakan korupsi terdiri dari unsur: setiap orang, memberi atau menjanjikan sesuatu, kepada penyelenggara negara, pejabat bertindak bertentangan dengan kewajibannya;
- Menyuap penyelenggara negara. Menurut pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan ataukewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadian atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Unsur pidana yang ada dalam pasal ini: penyelenggara negara, menerima hadiah atau janji, diketahui, pemberian hadiah atau janji berkaitan dengan jabatan.
- Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya. Pemberian hadiah ini tertera dalam pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, menyebutkan: setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Tindakan korupsi terdiri dari unsur: setiap orang, pemberian hadiah atau janji, pegawai negeri, kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya.
- Pegawai menerima suap. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut pasal ini unsur korupsi meliputi:setiap orang, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, melawan hukum.
- Pejabat menerima hadiah karena jabatannya. Menurut pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dijelaskan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur pidana yang terdapat pada pasal ini yaitu, menguntungkan diri sendiri, menyalahgunakan kewenangan atau jabatan, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- Menyuap hakim. Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dijelaskan: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Unsur pidana dalam pasal ini: memberi atau menjanjikan sesuatu, kepada hakim, tujuannya memengaruhi putusan perkara yang ditangani.
- Menyuap advokat. Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Menurut pasal ini yang termasuk unsur pidana adalah, setiap orang, memberi atau menjanjikan sesuatu, kepada advokat untuk hadir dalam persidangan, memengaruhi nasehat atau pendapat di pengadilan.
- Hakim dan advokat menerima suap. Menurut pasal 6 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b. unsur pidana yang terdapat dalam pasal ini: hakim atau advokat, menerima pemberian atau janji, maksud memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
- Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan. Menurut pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dijelaskan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Tindakan yang termasuk unsur pidana: pegawai negeri atau bukan yang ditugaskan, secara sengaja, menggelapkan atau membiarkan orang lain menggelapkan, uang atau surat berharga, disimpan karena jabatannya.
- Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi. Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Yang termasuk unsur tindak pidana dalam pasal ini: pegawai negeri atau bukan menjalankan suatu jabatan umum, secara sengaja memalsu, buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
- Pegawai negeri merusakkan bukti. Pasal 10 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 menjelaskan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. Yang termasuk unsur pidana dalam pasal ini: pegawai negeri atau bukan yang bertugas dalam suatu jabatan umum, dengan sengaja, menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau tidak dapat dipakai, barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan bukti di muka pejabat berwenang, dikuasai karena jabatannya.
- Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti. Menurut pasal 10 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Menurut pasal ini, unsur tindak pidana meliputi: pegawai negeri atau bukan yang ditugaskan dalam jabatan umum, dengan sengaja, membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai, barang, akta, surat atau daftar digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
- Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti. Pelanggaran ini tertulis dalam pasal 10 huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Tindakan yang masuk dalam unsur pidana yaitu, pegawai negeri atau bukan yang bertugas dalam jabatan umum, dengan sengaja, membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
- Pegawai negeri memeras. Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut pasal ini, tindakan yang termasuk unsur pidana: pegawai negeri atau penyelenggara negara, maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, melawanhukum, memaksa seseorang memberikan sesuatu untuk dirinya, menyalahgunakan kekuasaan.
- Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain. Sesuai dengan pasal 12 huruf f UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Menurut pasal ini, tindakan pidana terdiri dari unsur: pegawai negeri atau penyelenggara negara, waktu menjalankan tugas, meminta, menerima atau memotong pembayaran, kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah yang memberikan itu mempunyai utang padahal bukan merupakan utang.
- Pemborong berbuat curan Pada pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Unsur pidananya meliputi: pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan, berbuat curang, waktu membuat bangunan atau penyerahan, dapat membahayakan keamanan orang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
- Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang. Menurut pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan: setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a. unsur pidana yang termasuk dalam pasal ini yaitu, pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan, membiarkan perbuatan curang, dengan sengaja.
- Rekanan TNI/Polri berbuat curang. Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi: setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Sesuai dengan pasal ini, maka perbuatan pidana meliputi: setiap orang, melakukan perbuatan curang, saat menyerahkan barang keperluan TNI dan atau Kepolisian RI, dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
- Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang. Sesuai dengan pasal 7 ayat (1) huruf d UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. perbuatan yang termasuk unsur pidana: petugas yang mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau Polri, membiarkan perbuatan curang, dilakukan dengan sengaja.
- Penerima Barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang. Menurut pasal 7 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c. Menurut pasal ini, tindakan yang mengandung unsur pidana: orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI/Polri, membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
- Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang Pada pasal 12 huruf h No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Unsur pidana yang ada dalam pasal ini: pegawai negeri/penyelenggara negara, waktu menjalankan tugas menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak pakai, seolah-olah sesuai aturan, merugikan yang berhak, diketahui perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang.
- Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. Sesuai dengan pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Menurut pasal ini, unsur tindak pidana meliputi: PNS/penyelenggara negara, dengan sengaja, secara langsung atau tidak langsung turut dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan, saat dilakukan perbuatan ditugasi untuk mengurus atau mengawasinya.
- Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK. Menurut pasal 12 B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Selanjutnya pada pasal 12 C ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KomisiPemberantasan Korupsi. Pasal 12 C ayat (2) menyebutkan: paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Melihat uraian pasal-pasal tersebut, maka unsur pidana meliputi: pegawai negeri/penyelenggara negara, menerima gratifikasi, berhubungan dengan jabatan tetapi berlawanan dengan kewajibannya, tidak melaporkan penerimaan gratifikasi selama 30 hari sejak diterima.
- Merintangi proses pemeriksaan perkara. Menurut pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. Unsur pidana dalam pasal ini yaitu, setiap orang, secara sengaja, mencegah, merintangi atau menggagalkan, secara langsung atau tidak langsung, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi.
- Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya. Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi: setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, atau pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. Tindakan yang termasuk unsur pidana meliputi: tersangka, dengan sengaja, tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, berkaitan dengan harta benda isteri/suami, anak, setiap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
- Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka. Menurut pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. Unsur-unsur yang masuk tindak pidana dalam pasal ini: orang yang ditugaskan oleh Bank, dengan sengaja, tidak memberikan keterangan atau keterangan palsu.
- Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu. Seperti yang termuat dalam pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, disebutkan: setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. Unsur pidana dalam pasal ini: saksi atau ahli, dengan sengaja, tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu.
- Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu. Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi: setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. Tindakan pidana yang termasuk dalam pasal ini: orang yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya yang diwajibkan menyimpan rahasia, dengan sengaja, tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu.
- Saksi yang membuka identitas pelapor. Pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan: saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Unsur pidana dalam tindakan ini yaitu, saksi, menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan diketahuinya identitas pelapor.
Dari ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut, dapat dikelompokkan menjadi 7 kelompok:
- Kerugian keuangan Negara
- Suap-menyuap
- Penggelapan dalam jabatan
- Pemerasan
- Perbuatan curang
- Benturan kepentingan dalam pengadaan
- Gratifikasi
Tindak pidana lain yang juga berkaitan dengan tindak pidana korupsi:
- Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
- Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
- Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
- Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
- Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
- Saksi yang membuka identitas pelapor.
RINGKASAN
Korupsi termasuk tindakan yang jahat, busuk, dan merusak kehidupan masyarakat. Korupsi berpotensi dilakukan setiap orang, kapan saja dan di mana saja. Tindakan korupsi sudah termasuk kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), oleh sebab itu penanganannya juga harus secara luar biasa (extra ordinary measure). Untuk mengatasi korupsi tidak cukup hanya dilakukan pemerintah (lembaga yang khusus yang dibentuk untuk menangani korupsi) tetapi harus semua lapisan masyarakat.
Bentuk korupsi sangat banyak jenisnya, secara garis besar dapat dikelompokkan berupa: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi. Bentuk korupsi ini sudah berlangsung lama di Indonesia mulai dari masa kerajaan, masa penjajahan, masa orde lama, masa orde baru hingga masa reformasi. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasinya belum berhasil sesuai dengan harapan.